Senin, 26 April 2010

JALAN RAYA POS

Jalan Raya Pos ini terbentang dari Anyer ( Banten ) sampai ke Panarukan ( Jawa Timur ) sejauh kurang lebih 1000 km, tepatnya 1159 km. Dibangun oleh seorang Belanda yang menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda ke-36 bernama Herman Willem Daendels. Ia mendarat di Indonesia tepatnya di Anyer Lor pada tanggal 5 Januari 1808.

Jalan yang diberi warna merah tebal merupakan jalan raya pos
dari Anyer sampai Panarukan

Tujuan Daendels membangun Jalan Raya Pos tak lain ialah untuk mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris. Daendels tahu bahwa tanpa adanya akses jalan yang memadai, pasukannya tidak dapat bergerak cepat dan pulau Jawa sebesar itu tak bisa dipertahankan. Seluruh jalan yang dibangun bukan merupakan jalan yang baru, namun cukup melebarkan jalan yang telah ada dan membuka beberapa ruas jalan yang benar-benar baru. Dalam mewujudkan keinginannya, Daendels mengerahkan ribuan kaum pribumi dengan dibantu oleh para Bupati yang daerahnya akan dilalui Jalan Raya pos. Dalam buku Memoir of the Conquest of Java, menyebutkan setidaknya 12 ribu orang tewas.

Anyer 0 km tepat di pinggir pantai
ditandai dengan tugu kecil bertuliskan " Anyer 0 km"


Ruas Anyer - Batavia merupakan ruas pertama yang dilebarkan. jalan ini sekarang tergolong kelas I yang menghubungkan pesisir barat Banten dengan Jakarta. Dari Anyer, jalan masuk ke Cilegon Utara. Dari Cilegon, jalan itu membelok ke timur laut menuju alun-alun Istana Surosowan di Banten Lama. Daerah rawa-rawa menghalangi Jalan Pos ke timur, sehingga Belanda membelokkannya ke kota Serang di selatan, yang sekarang menjadi ibukota propinsi Banten. Dengan medan yang datar, jalan itu mencapai kota Tangerang. Daendels lalu masuk Jakarta melalui Grogol, dari jalan Daan Mogot ke arah Pangeran Tubagus Angke, sampai Harmoni ( sekarang jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk ).

Harmoni yang dulu sangatlah berbeda dengan sekarang

Di Jakarta, Daendels merobohkan benteng Jan Pieterszoon Coen di Kota Intan, Jakarta Utara dan memindahkan semua markas militer ke Weltevreden ( sekarang Gambir ). Ia juga memilih Waterlooplein ( yang sekarang menjadi RSPAD Gatot Subroto ) sebagai kantornya.

Dari Jakarta, jalan pos diteruskan ke selatan menuju Bogor. Setelah melewati Depok dan Cibinong ( sekarang jalan raya Bogor ), jalan raya pos memasuki kota Bogor yang sekarang menjadi Jalan Raya Pajajaran dari kawasan Warung Jambu, Kampus IPB Baranangsiang sampai ke Tajur. Sampai di Bogor, Daendels menempati Istana Gubernur pendahulunya - sekarang Istana Bogor - dan memperluasnya.

Istana Bogor yang pernah dipakai oleh Daendels

Masalah mulai timbul ketika menanjak di Megamendung untuk mencapai Cianjur. Mereka harus memotong punggungan utara gunung Pangrango menembus perkebunan teh yang terkenal curam. Medan yang berbukit-bukit dan curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak pekerja yang kelaparan, sakit dan akhirnya tewas. Menurut Nicolaus Engelhard ( salah satu mantan Gubernur Jawa ) menulis, 500 orang tewas di ruas Megamendung saja.

Jalur Puncak, medannya yang berbukit-bukit
dan dulu masih berupa hutan yang lebat

Dari Cianjur jalan mendaki lagi di Padalarang lalu turun ke Bandung. Namun karena jalan yang di bangun tidak melewati ibukota Bandung di Krapyak, maka Daendels memerintahkan penguasa Bandung saat itu untuk memindahkan ibukotanya ke utara sejauh 10 km, tepat di Jalan Raya Pos. Titik nol kilometer itu sekarang tepat di depan Gedung Bina Marga dan menjadi ruas Jalan Asia-Afrika.

Bandung 0 km tepat berada di depan kantor Bina Marga

Dari situ Jalan Raya Pos menuju timur ke jalan Jendral Sudirman, Jendral Ahmad Yani, melewati Gedung Sate terus ke arah Cileunyi, Jatinangor, membelok ke utara menuju Sumedang.

Di Ciherang menjelang kota Sumedang, Daendels mendapat perlawanan dari Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX dikarenakan banyak penduduk yang tewas saat memapas cadas Ciherang. Memang tidak terjadi pertempuran di tempat itu. Namun saat bertemu dengan Daendels, Pangeran Kusumadinata berjabat tangan dengan menggunakan tangan kiri.

Di Padas Pangeran terdapat patung Pangeran Kusumadinata IX
yang berjabat tangan dengan Daendels dengan tangan kiri


Dari kejadian tersebut, Daendels tahu bahwa sang pangeran sedang marah. Kini Ciherang disebut Cadas Pangeran dan menjadi lintas utama Bandung - Cirebon.
Pada mulanya, Jalan Raya Pos tidak akan melewati kota Cirebon. Jalan Raya Pos berakhir di Karangsembung ( sekitar 10 km selatan kota Cirebon ) dan akan langsung diteruskan ke Jawa Tengah. Namun Bupati Cirebon meminta Daendels untuk menyambung jalan tersebut sampai ke kotanya. Dari Cirebon, Jalan Raya Pos langsung masuk jalur Pantura melewati kota Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang dan Kendal. Sebelum sampai di Kendal Jalan Raya Pos akan melewati rimbunnya hutan jati yang diberi nama Alas Roban.

Jalur Pantura yang membelah hutan jati Alas Roban
merupakan jalur transportasi darat tersibuk di Indonesia


Pantura telah lama menjadi tulang punggung perekonomian di pulau Jawa, di mana hilir mudik kendaraan pengangkut jutaan penumpang dan berbagai jenis barang antar kota. Di Indonesia, hampir selama 200 tahun tidak ada jalan yang sesibuk jalur Pantura. Dari Cirebon hingga Semarang dan terus ke timur sampai Tuban, Jalan raya Pos melewati kota-kota yang sarat dengan sejarah. Di Semarang, Jalan Raya Pos membelah pusat kota di Lawang Sewu yang dulu menjadi kantor jawatan kereta api Belanda, terus melaju ke jalan Pemuda. Orang mengenalnya sebagai kota tua Semarang, yang dipisahkan dari kota baru oleh Sungai Semarang.

Tugu Muda dan gedung Lawang Sewu
dua ikon kota Semarang

Setelah melewati kota Semarang, jalan ini terus menuju ke arah timur melewati kota Kudus, Demak, pati dan Rembang, membagi alun-alun kota ditengahnya. Memasuki Jawa Timur, Jalan Raya Pos melewati kota Tuban, gresik dan langsung masuk ke kota Surabaya melalui jembatan merah, lurus ke jalan Veteran dan terus ke Selatan.

Jembatan Merah

Selepas Surabaya, Jalan Raya pos masuk ke Wonokromo, Sidoarjo dan Porong, tiga kota satelit yang sulit dibedakan lagi dengan Surabaya karena laju industrinya sangat pesat. Namun saat ini ketiga kota kecil itu resah, karena luapan lumpur Lapindo sejak 3,5 tahun yang lalu dan sampai saat ini bukannya berhenti justru semakin meluas.

Jalan Raya Porong kini hampir selalu tergenang oleh luapan lumpur Lapindo

Di Gempol tepatnya di ujung jalan tol, setelah membelok ke timur, Jalan raya Pos sampai di Pasuruan. Rel-rel kereta pengangkut tebu yang merupakan saksi kolonialisme masih bisa dilihat, terbengkalai siring surutnya jaman gula. rel-rel tersebut muncul dan hilang diantara rumah-rumah penduduk yang dulunya ladang tebu. Ruas jalan terus ke timur menuju Bangil, sebuah kota kecamatan kecil yang sarat denga pesantren. Sekarang kota ini sangatlah rame, banyak yang menyangka kota ini adalah kota Pasuruan. Dikarenakan jalanannya yang rindang oleh berbagai pepohonan dan banyak kantor-kantor pemerintah yang memiliki kantor cabang pembantu di kota ini. Selain itu banyaknya pertokoan dan pusat perbelanjaan juga turut meramaikan kota ini.

Keluar dari Pasuruan ke arah Probolinggo, 10 km ke arah timur terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) Paiton dengan empat cerobong asap yang besar dan tinggi seolah mencuat dari laut Jawa di bawah tebing yang kering dan tandus.
Di sebelah timur PLTU Paiton ini pulalah pada tahun 2003 yang lalu terjadi kecelakaan maut yang melibatkan sebuah truk kontainer dengan sebuah bus pariwisata dari Jogja yang menewaskan 55 orang penumpang bus. Memang jalan raya di sekitar PLTU Paiton medannya berbelok-belok dan naik turun cukup rawan untuk terjadi kecelakaan, terutama di malam hari.

Jalan Raya Pos berada tepat di depan PLTU Paiton

Selepas dari Paiton, di kanan dan kiri jalan raya mulai menghijau kembali ketika memasuki Kraksaan, Besuki. Daerah ini memang subur meskipun pada musim kemarau, sehingga banyak penduduk sekitar yang bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Selain itu di sepanjang jalan raya Kraksaan banyak terdapat lokasi pembibitan udang.
14 km arah tenggara dari Besuki, Jalan Raya Pos memasuki kawasan wisat Pasir Putih. Jalan raya di sini berbatasan langsung dengan laut. Pasir pantainya yang putih menyebabkab daerah ini cukup rame dengan toko cenderamata dan restauran. Banyak bus-bus AKAP dari Jawa ke Bali atau NTB dan sebaliknya yang beristirahat di restauran sepanjang kawasan ini. Kawasan wisata Pasir Putih memang tandus saat kemarau, menyisakan kaktus yang merayapi bukit dan daun-daun jati yang meranggas.

Kota Panarukan yang merupakan kota pelabuhan
kini tak seramai dulu lagi

Setelah melewati hutan jati, saat jalan membelok di antara dua bukit dan pemandangan berganti menjadi hamparan sawah nan subur, maka kita akan memasuki kota Panarukan. Sesampai di kota Panarukan, membelok ke kiri ke sebuah jalan yang sempit beberapa kilometer sebelum kota Situbondo, berujung pada sebuah pelabuhan kecil, tempat Daendels berdiri menggenapkan ambisinya menyambung Jawa dalam setahun. Kota Panarukan kini seperti catatan kaki sejarah dan hanya disinggahi kapal-kapal kayu kecil. Sungguh berbeda di masa dahulunya yang jaya, dimana kapal-kapal besar sarat akan tembakau keluar masuk dari pelabuhan ini.



Sumber : National Geographic Indonesia, Harian Kompas " Ekspedisi Anyer-Panarukan"


EmoticonEmoticon