" cabuk rambak ???? opo kui ??"....mungkin itu kebingungan yang akan diutarakan oleh banyak orang. Mungkin bagi masyarakat kota Solo nama makanan tersebut tidaklah asing. Namun untuk mendapatkannya cukuplah repot di kota Solo yang semakin maju.
Awalnya saya mendengar nama "cabuk rambak" dari mbak saya yang kebetulan tinggal di pinggir kota Solo. Walau saya tinggal di Klaten yang mungkin dari segi jarak tidaklah terlalu jauh dari Solo, namun benar-benar saya baru mendengar nama "cabuk rambak" untuk yang pertama kali. Menurut mbak saya tidaklah mudah untuk bisa mencicipi makanan itu. Namun suatu ketika saat sedang berkeliling di Singosaren Plaza di daerah Coyudan, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan seorang mbah yang berjualan cabuk rambak di lantai dasar plaza ( tepatnya di pojok selatan plaza depan pos polisi ). Tidak menyangka kalau ketemunya malah di mall, bukannya di pasar tradisional. Harganya murah banget cuma Rp.500 sepincuk (itu dulu di tahun 2003). Menurut mbah yang jualan, beliau sudah jualan sejak 15 tahun yang lalu. Memang dulu jualannya di pasar tradisional, berhubung tidak terlalu laku, akhirnya jualan di pelataran mall dan malah laris.
Bumbu cabuk ialah sambel yang terbuat dari kelapa yang diparut, kemiri, wijen, daun jeruk dan lombok lalu diulek sampai halus dan rata. Bumbu yang sudah halus kemudian diberi air secukupnya. Sekilas bumbu cabuk seperti bumbu pecel, namun teksturnya lebih halus dan warnanya lebih putih, dan tentu saja rasanya beda. Cabuk rambak sudah terbilang makanan langka dan hanya bisa dijumpai hanya daerah-daerah tertentu. Penyajian Cabuk rambakpun cukup unik, yaitu dengan pincuk (daun pisang yang dilipat) dan ketupat dipotong-potong kecil dan diatasnya dibubuhi cabuk. Sangat cocok jika makan Cabuk rambak dengan karak. Karak ialah krupuk yang terbuat dari beras, teksturnya kasar dan warnanya kecoklatan.
Rupanya di kota Solo, untuk bisa mencicipi cabuk rambak tidak cuma ada di Singosaren Plaza. Tempat lain yang terdapat penjual cabuk rambak diantarannya adalah di pasar Gede dan di pasar depan Pura Mangkunegaran.
Awalnya saya mendengar nama "cabuk rambak" dari mbak saya yang kebetulan tinggal di pinggir kota Solo. Walau saya tinggal di Klaten yang mungkin dari segi jarak tidaklah terlalu jauh dari Solo, namun benar-benar saya baru mendengar nama "cabuk rambak" untuk yang pertama kali. Menurut mbak saya tidaklah mudah untuk bisa mencicipi makanan itu. Namun suatu ketika saat sedang berkeliling di Singosaren Plaza di daerah Coyudan, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan seorang mbah yang berjualan cabuk rambak di lantai dasar plaza ( tepatnya di pojok selatan plaza depan pos polisi ). Tidak menyangka kalau ketemunya malah di mall, bukannya di pasar tradisional. Harganya murah banget cuma Rp.500 sepincuk (itu dulu di tahun 2003). Menurut mbah yang jualan, beliau sudah jualan sejak 15 tahun yang lalu. Memang dulu jualannya di pasar tradisional, berhubung tidak terlalu laku, akhirnya jualan di pelataran mall dan malah laris.
Bumbu cabuk ialah sambel yang terbuat dari kelapa yang diparut, kemiri, wijen, daun jeruk dan lombok lalu diulek sampai halus dan rata. Bumbu yang sudah halus kemudian diberi air secukupnya. Sekilas bumbu cabuk seperti bumbu pecel, namun teksturnya lebih halus dan warnanya lebih putih, dan tentu saja rasanya beda. Cabuk rambak sudah terbilang makanan langka dan hanya bisa dijumpai hanya daerah-daerah tertentu. Penyajian Cabuk rambakpun cukup unik, yaitu dengan pincuk (daun pisang yang dilipat) dan ketupat dipotong-potong kecil dan diatasnya dibubuhi cabuk. Sangat cocok jika makan Cabuk rambak dengan karak. Karak ialah krupuk yang terbuat dari beras, teksturnya kasar dan warnanya kecoklatan.
Rupanya di kota Solo, untuk bisa mencicipi cabuk rambak tidak cuma ada di Singosaren Plaza. Tempat lain yang terdapat penjual cabuk rambak diantarannya adalah di pasar Gede dan di pasar depan Pura Mangkunegaran.
EmoticonEmoticon