Senin, 05 November 2007

Suku Bangsa Akit (Riau)

Tags
Orang Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas rumah sakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.

Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa. Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.

Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama beberapa bulan.

Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.

Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.

Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan menetap ke daerah ini.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suku Bangsa Airoran (Papua)

Tags
Orang Airoran berdiam di tepi barat sungai Apauwar, termasuk wilayah Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Daerah ini berada di bagian utara punggung Papua. Mereka juga merupakan penutur satu kelompok bahasa, termasuk penutur bahasa Adora, Iriemkena, Sasawa, yang disebut rumpun bahasa Airoran. Menurut perkiraan tahun 1970-an jumlah penutur bahasa ini adalah sekitar 400 orang. Ada perkiraan bahasa-bahasa ini akan punah dari muka bumi, karena jumlah penuturnya yang relatif sedikit. Bahasa ini tergolong bahasa Papua.

Mereka umumnya hidup dari pengumpulan sagu sesuai dengan informasi yang ada sekitar tahun 1960. Pada masa itu mereka juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburu mulai dari binatang kecil seperti kadal sampai babi hutan, burung-burung, serta menangkap ikan.

Hubungan kerabat karena hubungan darah dan perkawinan tidak begitu luas ingatan mereka, tidak lebih luas dari pada mertua dan para ipar. Penarikan garis keturunan menurut prinsip patrilineal dan adat menetap sesudah nikah adalah patrilokal.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suku Bangsa Airo-Sumaghaghe (Papua)

Tags
Orang Airo-Sumaghaghe berdiam di daerah bagian selatan Kabupaten Merauke. Mereka terutama mendiami aliran sungai Ayip di pedalaman Pirimapun. Daerah ini termasuk wilayah Kecamatan Pantai Kasuari. Pada tahun 1970-an jumlah mereka diperkirakan sekitar 2000 orang sekaligus sebagai penutur bahasa Airo-Sumaghaghe. Bahasa ini termasuk rumpun bahasa Papua. Pada tahun 1987 jumlah penduduk Kecamatan Pantai Kasuari adalah 16.357 jiwa, di antara jumlah tersebut tidak dapat diketahui berapa jumlah orang Airo-Sumaghaghe.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suku Bangsa Aero (Papua)

Tags
Orang Aero merupakan satu kolektifa yang bermukim di hulu sungai Wuruwai, di mana sungai itu bermuara di pantai urata wilayah Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Pada tahun 1962 ada 86 orang Aero bermigrasi menyusur sungai tadi menuju ke arah pantai. Di sana, mereka mendapat tanah untuk berkebun dan memperoleh hutan sagu serta mendirikan desa kecil. Migrasi orang Aero ini karena konflik dengan kelompok etnik lain di daerah pedalaman dan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Migrasi semacam ini dilakukan pula oleh kelompok-kelompok lain yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu dan masih berlangsung pada masa yang lebih akhir.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.