Ada dua versi yang berkenaan dengan seni pertunjukan Mendu. Henri Chambert-Loir yang dikutip oleh Raja Hamzah Yunus (1997) mengatakan bahwa, Mendu kemungkinan besar berasal dari Asia Tenggara, karena kesamaannya dengan seni pertunjukan yang disebut sebagai Mendura yang berkembang di Siam, Yunan, Vietnam, dan Kamboja. Kesamaan ini terutama terletak pada pementasannya yang dilakukan di areal tanah terbuka (tanah lapang). Sedangkan versi lainnya (B.M. Syamsudin, 1987), mengatakan bahwa Mendu yang berkembang di daerah Bunguran berasal dari Wayang Parsi yang berkembang di Pulau Penang sekitar tahun 1780-1880. Menurutnya pula, dahulu Mendu hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Namun, memasuki tahun 70-an, ia tidak hanya milik laki-laki semata, tetapi perempuan juga ikut ambil bagian dalam pementasan Mendu. Dari kedua versi itu, tampaknya yang sangat beralasan adalah versi yang pertama, sedangkan versi yang kedua lebih mendekati asal usul Mak Yong ketimbang Mendu. Lepas dari asal-usul tersebut, yang jelas Mendu mulai dikenal oleh masyarakat Bunguran Barat sekitar tahun 1870, sebagaimana yang dikemukakan oleh B.M. Syamsudin.
Sebuah kesenian yang tidak jauh berbeda dengan Mak Yong dan Bangsawan (sama-sama menggabungkan unsur nyanyi, tari dan pertunjukan ini menyebar ke berbagai tempat di daerah yang disebut sebagai Pulau Tujuh, yakni: Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan (Terempa dan Langi), dan Midai. Bahkan, di Tanjungpinang dewasa ini telah ada group Mendu yang anggotanya orang-orang yang berasal dari Natuna. Walaupun demikian, jika orang-orang mendengar istilah Mendu, maka yang terbayang di kepala orang yang bersangkutan adalah Bunguran-Natuna. Dan, ini dapat dimengerti karena di sanalah “pusat” kesenian yang disebut sebagai Mendu di Propinsi Kepulauan Riau.
Ada keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya (Mak Yong dan Bangsawan). Keunikan itu adalah ceritera yang dimainkan tanpa naskah, sehingga para pemainnya harus hafal benar alur ceriteranya. Dengan kata lain, harus hafal di luar kepala. Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan musik yang khas, gabungan dari bunyi gong, gendang, beduk, biola, dan kaleng. Sementara itu, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah: Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, Catuk, Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat, Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar dan Tarik Lembu. Sedangkan tarian-tariannya adalah: Ladun, Jalan Runon, Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, dan Baremas.
Ceritera yang dimainkan adalah Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari ceritera rakyat masyarakat Bunguran-Natuna. Ceritera itu terbagi dalam tujuh episode. Ke-7 episode tersebut adalah sebagai berikut: Episode pertama, menceriterakan kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang fana. Dalam episode ini juga diceriterakan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Siti Mahdewi hingga keduanya bersepakat untuk membentuk sebuah keluarga (episode ini kadangkala dibagi menjadi dua, yakni turunya Dewa Mendu dan Angkara Dewa, dan perkawinan Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi). Episode kedua, menceriterakan berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akibat perbuatan jin jahat yang diutus oleh Maharaja Laksemalik. Dalam episode ini juga diceriterakan bagaimana Sang Dewa Mendu mencari isterinya tercinta. Episode ketiga, menceriterakan perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian diberi nama Kilan Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan. Episode keempat, mengisahkan tentang perjalanan Dewa Mendu yang kemudian sampai di sebuah kerajaan yang rajanya bernama Bahailani. Masih dalam episode ini, diceriterakan juga bahwa Dewa Mendu akhirnya menikah dengan puteri raja Bahailani. Episode kelima, menceriterakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Majusi. Dalam episode ini juga diceriterakan tentang perkawinan Angkara Dewa dengan puteri Raja Majusi. Episode keenam, menceriterakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Firmansyah. Konon, raja ini sedang mengalami masalah karena puterinya dipinang oleh Raja Beruk yang tidak disukainya. Dalam episode ini juga diceriterakan puteri Firmansyah bertemu dengan Kilan Cahaya. Dan, Episode ketujuh mengisahkan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Kilan Cahaya yang diawali dengan perkelahian antarkeduanya. Ceritera Dewa Mendu ini dapat dimainkan dalam beberapa versi, namun inti ceriteranya tetap sama.
Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan Mendu, disamping Dewa Mendu itu sendiri adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi, Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi, Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka seperti Selamat Salabe dan Tuk Mugok. Kedua tokoh ini diibaratkan sebagai garam dalam sebuah sayur. Tanpa mereka rasanya hambar. Oleh karena itu, mereka menjadi bagian yang penting dan sangat disenangi oleh penonton.
Bahasa yang dipergunakan dalam berdialog adalah bahasa Mendu dan bahasa Melayu sehari-hari masyarakat pendukungnya. Bahasa Mendu digunakan oleh para tokoh utama, sedangkan bahasa Melayu sehari-hari digunakan oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti: jin, dayang, dan peran pembantu lainnya. Berikut ini adalah beberapa kata dari bahasa Mendu dan bahasa Melayu sehari-hari masyarakat Bunguran-Natuna.
Bahasa Mendu Bahasa Melayu
Hutan baiduri Hutan rimba
Mahdiri kami Saye
Ampun yadi tuanku Ampun tuanku
Yadi tuan puteri Tuan puteri
Sebagai catatan, bahasa Mendu di masing-masing daerah seringkali berbeda. Dengan perkataan lain, bahasa Mendu yang digunakan oleh masyarakat Bunguran Barat berbeda dengan Bunguran Timur, Sintan dan sebaliknya. Bahasa yang dicontohkan di atas adalah bahasa Mendu yang dipergunakan oleh masyarakat Bunguran Barat dalam pementasan Mendu. Sebagaimana seni pertunjukan Mak Yong dan Bangsawan, seni pertunjukan Mendu mengandung pesan (nilai) bahwa kejahatan pada akhirnya akan mengalami kehancuran. Dengan kata lain, kejahatan akan kalah dengan kebaikan.
Untuk sebuah pementasan jumlah pemainnya minimal 25 orang (25--35 orang). Jika jumlah pemainnya hanya 25 orang, maka pengaturannya 5 orang sebagai pemusik, kemudian selebihnya sebagai pemain (pelakon). Jika, karena satu dan lain hal, jumlahnya hanya 20 orang, maka harus ada yang berganti peran pada adegan berikutnya. Lalu, jika jumlah pemainnya lengkap (35 orang), maka setiap orag akan melakukan satu peran tertentu. Dengan perkataan lain, setiap orang hanya dapat melakonkan satu tokoh dalam keseluruhan episode.
Sebagaimana Bangsawan, pementasan Mendu juga memerlukan panggung sebagai tempat para pemain berlaga. Panggung yang diperlukan itu berukuran 4 x 14 meter, berada di areal terbuka, dan terdiri atas tiga bagian, yakni ruang rias, balai penghadapan, dan arena berladun. Orang yang paling bertanggung jawab untuk pementasan kesenian ini disebut sebagai Khafilah. Tugasnya adalah, sebagaimana layaknya seorang sutradara, yaitu mengatur jalannya pementasan. Sesekali ia bermadah (menyampaikan prolog untuk penampilan berikutnya yang berisi ringkasan ceritera. Sedangkan, yang bertanggung jawab terhadap lingkungan disebut sebagai Syekh. Tugasnya adalah sebagai pelindung bagi para pelakon dari ancaman kekuatan jahat. Oleh karena itu, pementasan Mendu memerlukan pohon pulai (alstonia scholaris) yang ditanam pada bagian depan panggung sebagai penangkal kekuatan magis yang dapat mencelakakan pelakon. Kedua orang ini (Khafilah dan Syekh) biasanya berada di bagian belakang. Sebagai catatan, Syekh ada kalanya berperan sebagai Khafilah, tetapi tidak sebaliknya.
Kostum yang dikenakan oleh para pelakonnya adalah baju kurung teluk belanga (laki-laki) dan kebaya (perempuan), atau menyesuaikan peran yang dilakonkan karena tidak ada patokan yangg khusus. Demikian juga perlengkapan pendukungnya. Di masa lalu pementasan kesenian rakyat ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika keseluruhan episode dilakukan maka bisa sampai 40 malam. Namun, dapat juga diperpendek dalam 3 malam. Dewasa ini pementasan yang biasanya dimulai sekitar pukul 21.00, lamanya menyesuaikan waktu yang tersedia, terkadang sampai dini hari. Dengan kata lain, dapat dimainkan dalam waktu 45 menit sampai dengan 2 jam dengan mengambil fragmen-fragmen yang diperlukan. Sedangkan, pementasan itu sendiri biasanya dilakukan dalam rangka memeriahkan sebuah perkawinan, hari kemerdekaan Indonesia, dan hari-hari besar agama Islam. Sekali-sekali kesenian ini juga tampil dalam sebuah festival kesenian yang diselenggarakan oleh pemerintah propinsi dan lembaga pemerintah lainnya yang bergerak di bidang kebudayaan.
Pementasan seni pertunjukan yang disebut sebagai Mendu ini tentunya dilakukan secara berurutan. Dan, urutan itu adalah sebagai berikut: pertama, pertunjukan diawali dengan peranta, yakni pemberitahuan bahwa Mendu akan dipentaskan atau dipanggungkan dengan memukul alat-alat perkusi (gong dan kaleng) sekitar 2 jam lamanya; kedua, madah yang dilakukan oleh Syekh Mandu; ketiga, berladun; yaitu seluruh pelakon menari dan bernyanyi bersama membentuk lingkaran. Setelah itu, secara berpasangan, ada yang berjalan dari kiri dan kanan panggung sambil menari dan menyanyi. Selain itu, mereka berpantun yang isinya ucapan selamat datang dan sekaligus permohonan maaf jika sekiranya nanti pertunjukan kurang mengena di hati penonton. Keempat, para pelakon menyanyikan lagu wayat atau hikayat. Kelima, adegan pertama yang menggambarkan susana kerajaan. Adegan ini diiringi oleh nyanyian Numu Satu. Sebagai catatan, setiap adegan diiringi nyanyian. Untuk adegan Dewa Mendu ada beberapa lagu yang dapat dinyanyikan. Lagu-lagu itu ialah: Lamak Lamun, Numu satu, Serawak, Aik Mawa atau Burung Putih. Keenam, pementasan Mendu itu sendiri, dan ketujuh, penutupan yang sering disebut beremas. Artinya, berkemas-kemas untuk pulang. Di sini para pelakon berbanjar dua baris, menari bersama, dan mengucapkan selamat berpisah disertai permintaan maaf kepada penonton, dan saling meminta maaf diantara para pelakon itu sendiri. (ali gufron)
Sumber:
Galba, Sindu dan Siti Rohana, 2002, Peta Kesenian Rakyat Melayu Kebupaten Kepulauan Riau, Tanjungpinang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Syamsudin, B.M, 1987, Kesenian Melayu Riau dan Perkembangannya (Pandangan Setempat). Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
EmoticonEmoticon