Oleh: Dr. Mukhlis PaEni
Arus balik sejarah adalah sebuah fenomena penting dalam sejarah sosial yang melibatkan orang-orang Melayu-Bugis-Makassar dan juga orang-orang Bajau sebagai pemeran utama dalam dinamika masyarakat Asia Tenggara sejak abad ke-15. Dinamika sejarah dalam arus balik ini sangat penting untuk diketahui sebagai sebuah dasar pemahaman bagi peran timbal balik orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar dan peran orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri orang Melayu.
Tak terhitung jumlah literatur, termasuk berbagai hikayat, yang menceritakan tentang peran silsilah dan petualangan orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri Melayu.[1] Berawal dari pengembaraan KaraEng Samarluka anak raja dari Tanah Mengkasar ke Ujung Tanah (Semenanjung Malaka) dan peran aktif Opu Tenri Borong Daeng Rilekke bersama kelima putra dan keturunannya. Sebaliknya, peran orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar tidak banyak dibicarakan bahkan kurang mendapat perhatian. Akibatnya, benang merah dari sebuah penjelasan sejarah yang amat penting menjadi terabaikan dan kita pun memperoleh ulasan sejarah tentang Melayu-Bugis/Makassar tidak berimbang.
Pada tahun 1542, seorang Portugis bernama Antonio de Paiva mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva adalah orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi. Dalam laporannya yang tertulis dalam Couto Decades p. 78, dc Paiva menyebutkan bahwa ketika ia mendarat di Pulau Celebes (Sulawesi), ia telah bertemu dengan orang-orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susuanan masyarakat yang teratur dan sudah berdiri Siang sejak tahun 1490.[2] Sementara Manoel Pinto, juga seorang Portugis yang mengunjungi Siang pada tahun 1545 mengatakan bahwa ketika itu orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa, jumlah yang sangat banyak untuk ukuran ketika itu.
Tidak dapat diketahui secara pasti kapan orang orang Melayu melakukan kontak yang pertama dengan negeri-negeri di Indonesia bagian timur. Namun demikian, laporan de Paiva dan Pinto dapat dianggap sebagai informasi Eropa yang tertua tentang kegiatan orang-orang Melayu di bagian timur Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi.[3]
Paola zaman Raja Gowa IX, I Mangnguntungi Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500-1545), orang-orang Melayu sudah mendirikan permukiman di Mangallekana, sebuah kawasan di muara Sungai Jeniberang, di sebelah utara Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa. Namun demikian, baru pada zaman Raja Gowa X, Mariongau Daeng Bonto Karaeng Tunipallangga (1546-1565), orang-orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap kepada Raja Gowa agar Mangallekana diberi hak otonomi. Dalam sejarah Gowa dikisahkan:
la tommi napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang
Pada dialah juga datang meminta tempat kediaman Orang Jawa, Anakoda Bonang.
Naia erang-eranga ri Karaenga, nappala‘na empoang, kontua anne: Kamelei sibatu, belo sangantuju pulona sowonganna, sakkalla, sikayu, bilu‘lu sikayuy cindeilau sintangnga kodi.
Adapun persembahannya kepada Raja ketika ia meminta tempat kediaman, ialah: sepucuk senapan (kamaleti), delapan puluh junjungan “be;o”, sekayu Sakelat, sekayu beledu, dan setengah kodi “cind ilau”.
Nakana Anakoda ri Karanga tunipallangga; “appaki” rupanna kupala-pala ri katte karaeng; nakanamo karaenga; “apa”? Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia embammang, tanipanaikia ballammang, tanigajanga npuanna nnia‘ anammang, ntani rappung punna nia‘ salammang”, kesalahan”.
Kata Ananda Bonang kepada Raja Tunipallangga; “Empat macam kami harap-harapkan dari Tuanku,” maka menyambutlah Raja itu, “Apa?” Menjawablah ia: “Kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan kami (dengan begitu saja), janganlah kami dikenakan pengaturan “nigayang” bila ada anak kami dan janganlah kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada.
Naniioi Karaeng, nakana karaenga: tedongkujanjo maposo nakuparamme, mabattala‘na kutaroi, alaikaupaseng parangku saya tau, naiadai tamammunoako ributtaku punna manusia, takuassenga.
Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja: “Sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan (ia) ke dalam air, bila bebannya berat turunkan sebagian, apabila engkau sesamaku, akan tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar pengetahuan.”
Namakanatodong “siapa rupana nupailalang”?
Berkatalah pula Raja: “Berapa jenis (orang) yang kau masukkan ke dalam permintaanmu itu?”
Nakanamo Anakoda Bonang: Sikontukang ikambe ma, lipa‘ baraya kontui pahanga, Patania, Campaya, Manangkabao, Jahorpka.
Berkatalah Anakoda Bonang: “semua kami bersarung ikat ialah (orang), Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor”.[4]
Sejak kedatangan orang-orang Melayu ke Kerajaan Gowa (Makassar), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan bahkan dalam birokrasi. Besarnya jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk kepentingan orang-orang Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam. [5]
Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa (Makassar), banyak orang Melayu memegang peranan penting di Istana Kerajaan Gowa.
"Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap-hadapan dalam persidangan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tararapang, tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan.”[6]
Di zaman Raja Gowa X (1546-1565), seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajou yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa Ke-2. Sejak saat itu, secara turun-temurun jabatan syahbandar berturut-turut dipegang oleh orang Melayu sampai dengan Syahbandar Ince Husa Syahbandar Kerajaan Gowa (1669) ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC. Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, jabatan ini diduduki oleh seorang bernama Melayu, Incik Amin. Juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI (1653-1669), ini sangat terkenal melalui syair yang sebuah karya tulis yang amat indah berjudul Shair Perang Mangkasar yang mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669,[7] dikisahkan dalam bahasa Melayu berabdjad serang (Jawi) Arab-Melayu.
Sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia timur, khususnya di Sulawesi Selatan, tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga dalam bidang pendidikan, penyebaran agama Islam dan kebudayaan Melayu.
Berbagai naskah keagamaan dan karya-karya sastra diterjemahkan dari bahasa Melayu kebahasa Bugis/Makassar. Seperti Hikayat Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi Mardan Ali Al Murtada, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi ber Mi‘raj, Laila Ma‘jannung, Hikayat Marakarma, Hikayat Amir Hamzah, Budi Istiharat, Hikayat Cekal Weneng Pati, Hikayat Indra Putera, Hikayat Darma Ta‘siah, Hikayat Puteri Jauhar Manikam, dan banyak lagi.
Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke 19. Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah penulisan ulang Sureg I Lagaligo, karya sastra Bugis yang disebut sebagai sebuah karya sastra terbesar dari khazanah kesusastraan Indonesia tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate. Namun siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya adalah Ratna Kencana, ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahhandar Makassar di abad ke-19, orang keturunan Melayu-Johor berdarah campuran Makassar/Bugis.
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antarpulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Melayu dari Johor, dan Patani. Karena, sekalipun orang-orang Melayu itu sudah menetap di Makassar hampir satu abad lamanya, mereka tetap mempunyai hubungan baik dengan negeri asalnya di Tanah Semenanjung dan pulau-pulau sekitarnya. Oleh karena itu, setiap tahun kapal-kapal orang Melayu membawa secara rutin barang dagangan dari Makassar dan pulau sekitarnya. Dari beberapa sumber diperoleh keterangan bahwa sampai awal abad ke-17 rempah-rempah yang dibawa dari Banda ke Makassar diantarpulaukan oleh orang Jawa dan Melayu. Demikian pula komoditas beras yang merupakan hasil utama Sulawesi yang diekspor ke Malaka sejak tahun 1511, kemungkinan besar tidak dilakukan sendiri oleh orang-orang Bugis/Makassar, tetapi orang Bajau dan orang Melayu yang sudah di Makassar. Barulah pada tahun 1621 orang Makassar mulai turut mengambil bagian yang panting dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Ketika itu Kerajaan Gowa (Makassar) mulai memegang peranan penting sebagai kerajaan maritim di kawasan timur Nusantara. Di bawah kekuasaan Raja Gowa XIV, I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin 1598-1639.[8]
Tidak dapat diketahui secara pasti orang-orang Melayu Patani dan Minangkabau mulai bermukim di Salajo, daerah pesisiran negeri Makassar di Sanrobone. Dari beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa orang Melayu mulai bermukim di Salajo tak lama setelah keruntuhan Melaka tahun 1511 oleh Portugis.
Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani. Adapun Datuk Makotta bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung (di Salajo). Merekalah generasi pertama pendatang Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Sanrobone, daerah kawasan Kerajaan Gowa.
Di Salajo terjadi perkawinan antara orang-orang Melayu-Patani dengan orang-orang Melayu dari Minangkabau. lkatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir, dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta. Dalam sistem kemasyarakatan orang-orang Melayu, orang-orang terpandang Melayu menggunakan titulatur Incek di depan nama diri, seperti Incek Ali, Incek Talli, Incek Hasan. Kemudian terjadi perkawinan campuran antara orang-orang Melayu dengan orang Bajou (Turijene, Bahasa Makassar) yang ditandai perkawinan Incek Tija, Putri Incek Ali, cucu Tuan Rajja/Tuan Aminah dengan seorang tokoh rnasyarakat Bajau di Sanrohone yang dikenal dengan nama Lolo Bajo. Perkawinan ini melahirkan generasi masyarakat Melayu campuran Bajou dan Sandrobone (Makassar). Generasi yang lahir dari campuran daerah Melayu-Bajou-Makassar di Salajo yang dikenal dengan penggunaan titulatur Kare di di depan nama diri, seperti Kare Bali, Kare Tongngi, Kare Ponto, Kare Muntu, dst. Seseorang yang memilki titulatur Kare menempati tempat yang sangat terhormat dalam sistem kemasyarakatan Makassar.
Pada generasi selanjutnya ketika terjadi perkawinan campuran antara keturunan Incek dan Kare dengan orang Bugis-Makassar, lahirlah sebuah generasi baru Bugis-Makassar keturunan Melayu atau Generasi baru Melayu keturunan Bugis-Melayu di Nusantara bagian karat, yang secara umum dikenal sebagai golongan masyarakat tubaji (bahasa Makassar) atau tudeceng (bahasa Bugis). Mereka menggunakan titulatur Pa‘Daengang seperti I Minallang Daeng Kenna, I Nali Daeng Tonji, I Yoho Daeng Siang dst.
Generasi baru yang lahir dari percampuran darah Melayu-Bugis-Makassar dan Bajou ini menduduki tempat dalam struktur masyarakat, dari strata bangsawan hingga ke golongan masyarakat orang terhormat atau orang baik-baik. Kelompok inilah yang banyak meninggalkan Sulawesi Selatan selepas keruntuhan Gowa pada 1667-1669.
Di samping Salajo terdapat sebuah pemakaman yang ramai dikunjungi peziarah, dipercaya sebagai kuburan Tuan Rajja. Masyarakat sekitarnya menyebut kuburan Jawa Patani. Tak begitu jauh dari Salajo, di hampung Balaparang terdapat kompleks pemakaman orang Melayu di mana Datuk Mahkota dan Leang Abdul Kadir dimakamkan. Datuk Rajja (Abdul Rajad) dikenal sebagai orang ulama tassauf pengajar Islam yang amat terkenal dari Sandrobane. Dalam naskah Silsilah Asal Keturunan Pertama Ulama Melayu di Negeri Sandrobone milik Ince Abdul Rajak Daeng Ngago, disebut bahwa pada bulan Rabiul Awal 1020 Hijriyah (tahun 1599 M) Datuk Rajja (Tuan Rajah) mengirim Surat ke Patani mengabarkan tentang dirinya yang sudah bermukim di Negeri Salajo dan menjadi Guru Mangkasara dan pada Melayu serta sekalian hamba Allah. Berdasarkan atas sumber tersebut dapat diduga bahwa Datuk Rajja atau Tuan Rajab adalah nama diri Al Makassari Assadrobone, seorang ulama tasawuf keturunan Melayu yang sudah menulis berbagai buku tasawuf dan fikih sejak tahun 1540. Salah satu manuskrip tasawuf hasil karyanya ditemukan di Bira, ditulis di atas kertas ‘lokal‘ abad ke-16. Mikrofilm naskah asli tersimpan di Koleksi Proyek Naskah Universitas Hasanuddin (Unhas), Rol 74 dan No 5. (Microfilm Khazanah Arsip Nasional RI).
Migrasi Melayu yang datang berikutnya ialah rombongan besar Datuk Maharajalela tiba di Kerajaan Gowa (Makassar), tahun 1635, disertai kemenakannya suami-istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istri yang bergelar Putri Senopati.
Raja Gowa Sultan Alaudin memberi tempat tinggal di Salajo di sebelah selatan Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa. Salajo kemudian berganti nama menjadi Kampung Patani hingga sekarang.[9] Selain itu, bersamanya terbawa sebuah Regalia Patani berbentuk Bendera Cindai yang bernama ‘Buluh Perindu”. Datuk Maharajalela kemudian diangkat oleh orang-orang Melayu atas pertujuan dan izin Raja Gowa menjadi ketua bagi segenap orang Melayu. Tidak hanya di Kerajaan Gowa, tetapi di Indonesia Timur dengan sebutan Datuk Ponggawa.[10] "Buluh Perindu" (Bendera Cindai) yang sakral itu menjadi simbol ikatan masyarakat Melayu di Indonesia timur. Hingga kini ‘Bulu Perindu” masih tersimpan di Kampung Melayu di Makassar, di tangan salah seorang keluarga masyarakat Melayu di Makassar.
Seiring dengan tumbuhnya perkampungan Melayu di Mangallekana dan Patani, berbagai jenis pekerjaan baru berkembang di Indonesia timur, khususnya di Makassar. Pekerjaan-pekerjaan ini membuktikan tenaga-tenaga terdidik dan terampil, terutama untuk kegiatan perdagangan, dan lalu lintas ekonomi di Makassar.
Hal ini sangat penting mengingat jabatan-jabatan tradisional dalam birokrasi Kerajaan Gowa tidak dapat menampung orang Melayu terdidik dan terampil dalam berbagai jabatan. Demikianlah, lowongan lowongan kerja dari berbagai kantor-kantor dagang dan perusahaan-perusahaan dagang asing Makassar menjadi sasaran utama orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa. Hampir semua kantor dagang asing yang berada di Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa (Makassar), seperti kantor dagang Inggris, Belanda, Spanyol, Denmark, Portugis, [11] menggunakan tenaga-tenaga kerja Jawa dan Melayu sebagai pegawai atau tenaga kerja terampil. Merekalah yang menjadi motor penggerak dunia perdagangan di Indonesia Timur, terutama di era kejayaan pertengahan abad ke 17 hingga zaman keruntuhan Kerajaan Gowa.
Ketika terjadi ketegangan antara Kerajaan Gowa (Makassar) dengan VOC (Belanda) dalam memperebutkan dominasi ekonomi di Indonesia timur yang sudah tampak gejalanya di awal abad ke 17, orang-orang Melayu dan Jawa yang bekerja pada kantor-kantor dagang asing, khususnya Belanda, mendapat pukulan yang berat. Kerajaan Gowa (Makassar) menjadi sangat curiga pada orang-orang Melayu yang berkarya untuk kegiatan perdagangan Belanda di Makassar.[12] Kecurigaan ini mencapai puncaknya ketika Kerajaan Gowa kalah dalam perang melawan Belanda pada Perang Makassar (1667- 1669). Akibatnya Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Karungrung, memindahkan (mengusir) mereka ke luar dari Makassar/daratan Sulawesi dan menempatkannya di pulau-pulau lepas pantai Makassar yang secara khusus pada pulau-pulau yang berawalan depan Sa: Salembo, Sabaru, Sabutung, Satangga, Satando, Sabalanga. Pulau-pulau ini kemudian tumbuh menjadi permukiman Melayu dan menjadi pusat pendidikan agama Islam dan di abad ke-19. Mereka yang masih tinggal di Makassar (di daratan Sulawesi) hanya orang-orang Melayu-Makassar petinggi-petinggi kerajaan seperti syahbandar, kadhi, pejabat-pejabat agama, juru tulis dan keluarganya serta anggota masyarakat dengan VOC.
Perang Makassar yang berakhir tahun 1667 memaksa Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI, menandatangani Perjanjian Bongaya. Dalam perjanjian itu ada dua bahasa resmi yang digunakan oleh para pembesar Kerajaan Gowa (Makassar) dalam perundingannya dengan Belanda, yaitu bahasa Portugis dan Melayu. Perjanjian yang sangat monumental itu tidak hanya terkenal karena menjadi titik berakhirnya dari satu perang yang sangat dahsyat sepanjang sejarah VOC di Indonesia, tetapi karena perjanjian ini menjadi awal dari satu periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika masyarakat Melayu di Nusantara.
Arus Balik Sejarah
Akibat dari perjanjian ini terjadilah aru balik pengaruh Melayu di Nusantara. Pada saat itulah orang-orang Melayu-Bugis/Makassar yang menduduki jabatan-jataban penting di Kerajaan Gowa bersama para bangsawan tinggi kerajaan yang tidak menyetujui Perjanjian Bongaya meninggalkan Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, secara besar-besaran. Peristiwa ini saya sebut sangat penting karena arus balik ini terjadi setelah hampir 177 tahun sejak berdirinya permukiman Melayu di Siang kurang lebih 1490 atau sekitar 146 tahun sejak kedatangan orang-orang Melayu dan bermukim di Mangallekana, tahun 1521. Dalam arus balik itu tidak hanya orang-orang Melayu-Bugis-Makassar yang duduk dalam birokrasi kekuasaan yang meninggalkan Gowa (Makassar). Secara umum mereka tidak menyetujui kekuasaan Belanda (VOC) di Makassar (Gowa) turut meninggalkan Sulawesi. Migrasi besar-besaran ini secara umum melibatkan daerah-daerah yang berada di bawah persekutuan Kerajaan Gowa, seperti Wajo, Balanipa, Luwu, dan Bima. Datuk Maharajelala yang telah menjabat jabatan Datuk Punggawa, ketua orang Melayu dalam struktur birokrasi tradisional Kerajaan Gowa selama lebih 30 tahun mengundurkan diri dan berhenti menjadi Datuk Punggawa. Dialah Datuk Punggawa yang pertama dan terakhir. 37 tahun kemudian setelah Belanda (VOC) menguasai sepenuhnya Makassar (Gowa) barulah Belada mengangkat seorang pejabat baru dalam struktur kekuasaan VOC selaku ketua orang-orang Melayu dengan nama Kapitan Melayu, yakni pada tanggal 28 Mei 1706, diawali pengangkata Ince Tjuka Abdul Rasul sebagai Kapitan Melayu pertama hingga ke Kapitan Melayu terakhir pada tahun 1918 dijabat oleh Kapitan Incek Qaimuddin Daeng Parani.
Satu hal yang menarik dalam kajian sejarah sosial Indonesia ialah studi tentang perkawinan campuran antara orang-orang Melayu Bugis-Makassar dan Bajau di Sulawesi Selatan, yang kemudian melahirkan masyarakat baru Nusantara. Masyarakat baru Nusantara yang disebut tubaji dan tudeceng inilah yang memegang berbagai jabatan dan peranan penting dalam masyarakat. Hampir semua jenis okupasi yang menjadi kekuatan dinamika sosial-budaya-politik dan ekonomi sepanjang tiga abad dipegang oleh para tubaji/tudeceng.
Manusia Bugis-Makassar campuran Melayu ini, (tubaji), adalah manusia baru Nusantara di abad ke-17 yang sangat penting peranannya. Dalam diri tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, yang kemudian bercampur dengan heroisme Bugis-Makassar dan kearifan Bajau. Percampuran ini melahirkan orang Melayu baru, dalam arti yang luas. Para tubaji atau tudeceng inilah yang kemudian memegang peranan penting dalam sejarah Nusantara di abad ke-18 sampai ke-19 di Tanah Semenanjung dan Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan daerah-daerah di pantai utara Jawa, termasuk di Sulawesi Selatan sendiri. Peran mereka masih berlangsung hingga memasuki abad ke-20.
Dengan demikian, jika dikenal dalam sejarah Nusantara adanya pengaruh Bugis-Makassar di Nusantara, khususnya di Tanah Semenanjung dan di Kepulauan Riau pada abad ke-18 dan ahad ke-19, sesungguhnva tidaklah dapat disebut sebagai peranan Bugis-Makassar secara harfiah seperti yang yang umum dikenal dalam sejarah Melayu. Sebab, dalam diri para bangsawan dan tubaji di antara para Daeng, para Opu dan para Karaeng itu telah mengalir darah campuran Melayu-Bugis-Makassar. Mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari sebuah dinamika sejarah masyarakat kita.
Masalah tubaji atau tudeceng sangat penting dibicarakan karena seringkali banyak tokoh terkemuka atau petinggi dari Ujung Tanah (baca: Malaysia) atau Riau yang merasa berdarah keturunan Bugis atau Makassar datang mencari silsilah "Datuk", leluhurnya ke Sulawesi, di tanah Bugis-Makassar. Beberapa di antaranya tidak puas, bahkan ada yang kecewa karena tidak dapat menemukan kepastian siapa sebenarnya leluhur atau "Datuk"-nya itu. Kekecewaan itu akan bertambah jika ia berusaha mencari nama "Datuk"-nya dalam urutan silsilah raja-raja Bugis-Makassar seperti juga silsilah para Daeng, Opu dan Karaeng yang ada dalam sejarah Melayu-Bugis. Umumnya kita mendapat kesulitan untuk memastikan kebenaran hubungan garis silsilah dalam geneologi itu secara akurat, sekalipun tempatnya dalam struktur sosial jelas dengan titulatur yang dimiliki bangsawan tubaji/tudeceng dan berasal dari tradisi besar Bugis-Makassar.
Sepanjang kurang lebih 150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para bangsawan Bugis-Makassar dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi menyebut diri sebagai orang Melayu melainkan menyebut diri orang Bugis atau orang Makassar. Identitas yang menandakan bahwa seseorang masih berdarah Melayu hanya terlihat pada titulatur nama diri dan sebutan-sebutan dalam kekerabatan. Penggunaan sebutan Incek di depan nama diri menunjukan bahwa ia masih berdarah Melayu digunakan secara terbatas, sementara penggunaan nama panggilan Pa‘Daengan yang menunjukkan predikat kebangsawanan atau tubaji oleh seorang tubaji/tudeceng lebih popular digunakan.
Contohnya :
Incek Muh. Ali Daeng Rowa.
Incek = titulatu nama diri bagi orang Melayu
Muhammad Ali = nama diri
Daeng Rowa = nama Pa‘Daengan, titulatur Makassar
Sehari-hari disapa dengan Daeng Kowa:
Incek Abdul Kadir Daeng Mamangung Datuk Sabandar
Incek = nama identitas bangsawan Melayu
Abdul Kadir = nama diri
Daeng Mamangung = titular Makassar (tubaji)
Datuk Sabandar = nama jabatan
Lebih popular disapa dengan Daeng Manangung.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari seseorang yang memiliki 4 (empat), 3 (tiga), atau 2 (dua) nama termasuk orang terpandang (tubaji) dan seseorang umumnya tidak dikenal/dipanggil dengan nama dirinya tetapi nama Pa‘Daengang-nya. Karena dalam struktur sosial masyarakat Bugis/Makassar tidak semua orang memiliki nama Pa‘Daengang. Pa‘Daengang hanyalah untuk para bangsawan dan masyarakat golongan tubaji/tudeceng saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam sejarah Melayu tokoh sejarah Melayu-Bugis-Makassar dikenal dengan nama Pa‘Daengang-nya saja.
Dengan menggunakan terminologi Pa‘Daengang sudah cukup untuk menempatkan Sang Daeng dalam struktur masyarakat. Merekalah para tubaji/tudeceng sebagai generasi baru Nusantara dalam arus balik sejarah yang berperan penting menegakkan marwah dan tamaddun Melayu, menjadi penggerak dinamika Kesultanan Melayu di abad ke-18 hingga abad ke-19, dan di berbagai daerah di Indonesia bagian barat, termasuk di Riau. Dalam konteks inilah Mukaddimah Sulalatus Salatin menjadi sangat penting artinya.
"Pada suatu masa... dst bahwa fakir duduk pada suatu Majlis dengan orang besar-besar bersenda gurau. Pada antara itu ada seorang besar, terlebih mulianya dan lebih besar martabatnya daripada yang lain. Maka berkata ia kepada fakir, “Hamba dengar ada hikayat Melayu dibawa oleh orang dari Gowa barang kita perbaiki kiranya dengan istiadatnya, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, dan boleh digantikan oleh segala mereka itu dan adalah beroleh faedah ia daripadanya”.
Daftar Pustaka
Adatrcehtbundels XXXI: Celebes ‘s-Gravenhage: Maritunus Nijhoff, 1929.
Ahmad, Samad, A, Sulalatus Salatun (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1986.
Amin, Enci, Microfilm School of Orientarl & African Studies, SOAS. MS 403224.
Ch. Pelras, “Sulawesi Selatan sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Bangsa Asing”, dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan. 1983.
J. Noorduyn, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Kristen Indonesia, 1964.
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan. Jakarta: Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1988.
Mengemba, H. D, Kenalilah Sulawesi Selatan, Jakarta: Timur Mas, 1954,1956.
PaEni, Mukhlis, Struktur Birokrasi Kerajaan Gowa Jaman Pemerintahaan Sultan Hasanuddin (1653-1669), Yogyakarta: UGM, 1975.
YIIS, Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta; Sinar Harapan. 1985, Cet. I.
Rogoyah A. Hamid, Hikayat Opu DaEng Manambun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1900.
Microfilm, Proyek Naskah Universitas Hasanuddin Rol 9. No: 12, Ro 10, No: 7, Rol: 62, No: 33, Rol: 77, No: 16, No: 80:, No: 44, 60, Rol: 81, No: 37.
Mukhtasar Tawarikh Al Wusta, A Shart chronicle of the Rionregion, introduction Roger Tol, Jam Just Witkam, Leiden 1993.
Abdul Razak daEng Pa‘tunru, Sejarah Gowa. YKKS, 1993.
L. Andaya, The Kingdom of Johar 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxforg Unversiti Press, 1975.
Edward Poelenggomang, Makassar Abad XIX, KPG, 2002.
Zainal, Abidin, “How for is Makassar from Ujung Pandang”, Makalah hari lahirnya Makassar, 1995.
Microfilm Proyek Naskah Universitas Hasanuddin Rol 9, NO: 12. Rol 10 No 7, Rol 62 No. 33, Rol 77 No. 16, Rol 80 No. 10, Rol 80 No. 44, Rol 80 No. 60, Rol 81 N. 37.
[1] Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Tuhfat al-Nafis, Aturan Setia Bugis dan Melayu, Sejarah Riau Lingga dan Daerah Takluknya. Tawariik al-Wusta, Hikayat Negeri Johor, Hikayat Opu Daeng Menambun, Hikayat Raja-raja Riau, Sejarah Raja-raja Riau, Silsilah Raja Bugis, Hikayat Negeri Riau, and Sejarah Johor. Mukhtasar Tawarikh Al-Wusta A short chronicle of the Riau region.
[2] Ch. Pelras: “Sulawesi Selatan sebelum datangnya Islam berdasarkan kesaksian bangsa Portugis” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: YRS, 1983. Di beberapa sumber Portugis disebutkan bahwa pedagang-pedagang Melayu Islam sudah berada di Siang sejak 1485, 120 tahun sebelum Raja Gowa I Mangarangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin 1593-1639 memeluk Agama Islam.
[3] Lihat juga Leonard Andaya: The Kingdom of Jogor, 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975.
[4] Abdul Razak DaEng Pa‘tunru, Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar, 1995. P 15, lihat juga Mattulada, 1988.
[5] Abdul Razak Daeng Patunru, op cit.
[6] Ince Manambai Ibrahim, "Sejarah Keturunan di Melayu Selatan" tanpa angka tahun, tidak diterbitkan.
[7] Enci; Emin; microfilm School of Orientasi dan African Studies, SOAS, MS 40324. Di zaman Kerajaan Gowa XV Sultan Malikusaid (1639-1663) sekretaris istana dijabat oleh seorang Portugis bernama Francisco Mendes (lihat Zainal Abidin, 1995).
[8] Edward Paelanggomang, Makassar Abdullah XIX, 2002.
[9] Abdurrahman: Kedatangan orang Melayu di Makassar dalam H.D. Magemba, Kenallah Sulawesi Selatan, Jakarta Timur Mas, 1956.
[10] Adatrechtbundels, XXXI : Selebes, 1929. p.110
[11] Adatrechtbundels, XXXI : Selebes, 1929. p. 111
[12] Ibid, P. 112.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Seminar “Pluralitas dan Identitas Melayu” dan Lokakarya “Revitalisasi Seni Tradisi Melayu” di Senggarang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Tanggal 28 Juli – 1 Agustus 2004
Mukhlis PaEni, adalah Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film (NBSF) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Repubulik Indonesia.
Arus balik sejarah adalah sebuah fenomena penting dalam sejarah sosial yang melibatkan orang-orang Melayu-Bugis-Makassar dan juga orang-orang Bajau sebagai pemeran utama dalam dinamika masyarakat Asia Tenggara sejak abad ke-15. Dinamika sejarah dalam arus balik ini sangat penting untuk diketahui sebagai sebuah dasar pemahaman bagi peran timbal balik orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar dan peran orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri orang Melayu.
Tak terhitung jumlah literatur, termasuk berbagai hikayat, yang menceritakan tentang peran silsilah dan petualangan orang-orang Bugis-Makassar di negeri-negeri Melayu.[1] Berawal dari pengembaraan KaraEng Samarluka anak raja dari Tanah Mengkasar ke Ujung Tanah (Semenanjung Malaka) dan peran aktif Opu Tenri Borong Daeng Rilekke bersama kelima putra dan keturunannya. Sebaliknya, peran orang-orang Melayu di negeri-negeri Bugis-Makassar tidak banyak dibicarakan bahkan kurang mendapat perhatian. Akibatnya, benang merah dari sebuah penjelasan sejarah yang amat penting menjadi terabaikan dan kita pun memperoleh ulasan sejarah tentang Melayu-Bugis/Makassar tidak berimbang.
Pada tahun 1542, seorang Portugis bernama Antonio de Paiva mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva adalah orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi. Dalam laporannya yang tertulis dalam Couto Decades p. 78, dc Paiva menyebutkan bahwa ketika ia mendarat di Pulau Celebes (Sulawesi), ia telah bertemu dengan orang-orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susuanan masyarakat yang teratur dan sudah berdiri Siang sejak tahun 1490.[2] Sementara Manoel Pinto, juga seorang Portugis yang mengunjungi Siang pada tahun 1545 mengatakan bahwa ketika itu orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa, jumlah yang sangat banyak untuk ukuran ketika itu.
Tidak dapat diketahui secara pasti kapan orang orang Melayu melakukan kontak yang pertama dengan negeri-negeri di Indonesia bagian timur. Namun demikian, laporan de Paiva dan Pinto dapat dianggap sebagai informasi Eropa yang tertua tentang kegiatan orang-orang Melayu di bagian timur Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi.[3]
Paola zaman Raja Gowa IX, I Mangnguntungi Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500-1545), orang-orang Melayu sudah mendirikan permukiman di Mangallekana, sebuah kawasan di muara Sungai Jeniberang, di sebelah utara Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa. Namun demikian, baru pada zaman Raja Gowa X, Mariongau Daeng Bonto Karaeng Tunipallangga (1546-1565), orang-orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap kepada Raja Gowa agar Mangallekana diberi hak otonomi. Dalam sejarah Gowa dikisahkan:
la tommi napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang
Pada dialah juga datang meminta tempat kediaman Orang Jawa, Anakoda Bonang.
Naia erang-eranga ri Karaenga, nappala‘na empoang, kontua anne: Kamelei sibatu, belo sangantuju pulona sowonganna, sakkalla, sikayu, bilu‘lu sikayuy cindeilau sintangnga kodi.
Adapun persembahannya kepada Raja ketika ia meminta tempat kediaman, ialah: sepucuk senapan (kamaleti), delapan puluh junjungan “be;o”, sekayu Sakelat, sekayu beledu, dan setengah kodi “cind ilau”.
Nakana Anakoda ri Karanga tunipallangga; “appaki” rupanna kupala-pala ri katte karaeng; nakanamo karaenga; “apa”? Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia embammang, tanipanaikia ballammang, tanigajanga npuanna nnia‘ anammang, ntani rappung punna nia‘ salammang”, kesalahan”.
Kata Ananda Bonang kepada Raja Tunipallangga; “Empat macam kami harap-harapkan dari Tuanku,” maka menyambutlah Raja itu, “Apa?” Menjawablah ia: “Kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan kami (dengan begitu saja), janganlah kami dikenakan pengaturan “nigayang” bila ada anak kami dan janganlah kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada.
Naniioi Karaeng, nakana karaenga: tedongkujanjo maposo nakuparamme, mabattala‘na kutaroi, alaikaupaseng parangku saya tau, naiadai tamammunoako ributtaku punna manusia, takuassenga.
Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja: “Sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan (ia) ke dalam air, bila bebannya berat turunkan sebagian, apabila engkau sesamaku, akan tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar pengetahuan.”
Namakanatodong “siapa rupana nupailalang”?
Berkatalah pula Raja: “Berapa jenis (orang) yang kau masukkan ke dalam permintaanmu itu?”
Nakanamo Anakoda Bonang: Sikontukang ikambe ma, lipa‘ baraya kontui pahanga, Patania, Campaya, Manangkabao, Jahorpka.
Berkatalah Anakoda Bonang: “semua kami bersarung ikat ialah (orang), Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor”.[4]
Sejak kedatangan orang-orang Melayu ke Kerajaan Gowa (Makassar), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan bahkan dalam birokrasi. Besarnya jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk kepentingan orang-orang Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam. [5]
Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa (Makassar), banyak orang Melayu memegang peranan penting di Istana Kerajaan Gowa.
"Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap-hadapan dalam persidangan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tararapang, tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan.”[6]
Di zaman Raja Gowa X (1546-1565), seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajou yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa Ke-2. Sejak saat itu, secara turun-temurun jabatan syahbandar berturut-turut dipegang oleh orang Melayu sampai dengan Syahbandar Ince Husa Syahbandar Kerajaan Gowa (1669) ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC. Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, jabatan ini diduduki oleh seorang bernama Melayu, Incik Amin. Juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI (1653-1669), ini sangat terkenal melalui syair yang sebuah karya tulis yang amat indah berjudul Shair Perang Mangkasar yang mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669,[7] dikisahkan dalam bahasa Melayu berabdjad serang (Jawi) Arab-Melayu.
Sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia timur, khususnya di Sulawesi Selatan, tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga dalam bidang pendidikan, penyebaran agama Islam dan kebudayaan Melayu.
Berbagai naskah keagamaan dan karya-karya sastra diterjemahkan dari bahasa Melayu kebahasa Bugis/Makassar. Seperti Hikayat Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi Mardan Ali Al Murtada, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi ber Mi‘raj, Laila Ma‘jannung, Hikayat Marakarma, Hikayat Amir Hamzah, Budi Istiharat, Hikayat Cekal Weneng Pati, Hikayat Indra Putera, Hikayat Darma Ta‘siah, Hikayat Puteri Jauhar Manikam, dan banyak lagi.
Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke 19. Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah penulisan ulang Sureg I Lagaligo, karya sastra Bugis yang disebut sebagai sebuah karya sastra terbesar dari khazanah kesusastraan Indonesia tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate. Namun siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya adalah Ratna Kencana, ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahhandar Makassar di abad ke-19, orang keturunan Melayu-Johor berdarah campuran Makassar/Bugis.
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antarpulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Melayu dari Johor, dan Patani. Karena, sekalipun orang-orang Melayu itu sudah menetap di Makassar hampir satu abad lamanya, mereka tetap mempunyai hubungan baik dengan negeri asalnya di Tanah Semenanjung dan pulau-pulau sekitarnya. Oleh karena itu, setiap tahun kapal-kapal orang Melayu membawa secara rutin barang dagangan dari Makassar dan pulau sekitarnya. Dari beberapa sumber diperoleh keterangan bahwa sampai awal abad ke-17 rempah-rempah yang dibawa dari Banda ke Makassar diantarpulaukan oleh orang Jawa dan Melayu. Demikian pula komoditas beras yang merupakan hasil utama Sulawesi yang diekspor ke Malaka sejak tahun 1511, kemungkinan besar tidak dilakukan sendiri oleh orang-orang Bugis/Makassar, tetapi orang Bajau dan orang Melayu yang sudah di Makassar. Barulah pada tahun 1621 orang Makassar mulai turut mengambil bagian yang panting dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Ketika itu Kerajaan Gowa (Makassar) mulai memegang peranan penting sebagai kerajaan maritim di kawasan timur Nusantara. Di bawah kekuasaan Raja Gowa XIV, I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin 1598-1639.[8]
Tidak dapat diketahui secara pasti orang-orang Melayu Patani dan Minangkabau mulai bermukim di Salajo, daerah pesisiran negeri Makassar di Sanrobone. Dari beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa orang Melayu mulai bermukim di Salajo tak lama setelah keruntuhan Melaka tahun 1511 oleh Portugis.
Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani. Adapun Datuk Makotta bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung (di Salajo). Merekalah generasi pertama pendatang Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Sanrobone, daerah kawasan Kerajaan Gowa.
Di Salajo terjadi perkawinan antara orang-orang Melayu-Patani dengan orang-orang Melayu dari Minangkabau. lkatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir, dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta. Dalam sistem kemasyarakatan orang-orang Melayu, orang-orang terpandang Melayu menggunakan titulatur Incek di depan nama diri, seperti Incek Ali, Incek Talli, Incek Hasan. Kemudian terjadi perkawinan campuran antara orang-orang Melayu dengan orang Bajou (Turijene, Bahasa Makassar) yang ditandai perkawinan Incek Tija, Putri Incek Ali, cucu Tuan Rajja/Tuan Aminah dengan seorang tokoh rnasyarakat Bajau di Sanrohone yang dikenal dengan nama Lolo Bajo. Perkawinan ini melahirkan generasi masyarakat Melayu campuran Bajou dan Sandrobone (Makassar). Generasi yang lahir dari campuran daerah Melayu-Bajou-Makassar di Salajo yang dikenal dengan penggunaan titulatur Kare di di depan nama diri, seperti Kare Bali, Kare Tongngi, Kare Ponto, Kare Muntu, dst. Seseorang yang memilki titulatur Kare menempati tempat yang sangat terhormat dalam sistem kemasyarakatan Makassar.
Pada generasi selanjutnya ketika terjadi perkawinan campuran antara keturunan Incek dan Kare dengan orang Bugis-Makassar, lahirlah sebuah generasi baru Bugis-Makassar keturunan Melayu atau Generasi baru Melayu keturunan Bugis-Melayu di Nusantara bagian karat, yang secara umum dikenal sebagai golongan masyarakat tubaji (bahasa Makassar) atau tudeceng (bahasa Bugis). Mereka menggunakan titulatur Pa‘Daengang seperti I Minallang Daeng Kenna, I Nali Daeng Tonji, I Yoho Daeng Siang dst.
Generasi baru yang lahir dari percampuran darah Melayu-Bugis-Makassar dan Bajou ini menduduki tempat dalam struktur masyarakat, dari strata bangsawan hingga ke golongan masyarakat orang terhormat atau orang baik-baik. Kelompok inilah yang banyak meninggalkan Sulawesi Selatan selepas keruntuhan Gowa pada 1667-1669.
Di samping Salajo terdapat sebuah pemakaman yang ramai dikunjungi peziarah, dipercaya sebagai kuburan Tuan Rajja. Masyarakat sekitarnya menyebut kuburan Jawa Patani. Tak begitu jauh dari Salajo, di hampung Balaparang terdapat kompleks pemakaman orang Melayu di mana Datuk Mahkota dan Leang Abdul Kadir dimakamkan. Datuk Rajja (Abdul Rajad) dikenal sebagai orang ulama tassauf pengajar Islam yang amat terkenal dari Sandrobane. Dalam naskah Silsilah Asal Keturunan Pertama Ulama Melayu di Negeri Sandrobone milik Ince Abdul Rajak Daeng Ngago, disebut bahwa pada bulan Rabiul Awal 1020 Hijriyah (tahun 1599 M) Datuk Rajja (Tuan Rajah) mengirim Surat ke Patani mengabarkan tentang dirinya yang sudah bermukim di Negeri Salajo dan menjadi Guru Mangkasara dan pada Melayu serta sekalian hamba Allah. Berdasarkan atas sumber tersebut dapat diduga bahwa Datuk Rajja atau Tuan Rajab adalah nama diri Al Makassari Assadrobone, seorang ulama tasawuf keturunan Melayu yang sudah menulis berbagai buku tasawuf dan fikih sejak tahun 1540. Salah satu manuskrip tasawuf hasil karyanya ditemukan di Bira, ditulis di atas kertas ‘lokal‘ abad ke-16. Mikrofilm naskah asli tersimpan di Koleksi Proyek Naskah Universitas Hasanuddin (Unhas), Rol 74 dan No 5. (Microfilm Khazanah Arsip Nasional RI).
Migrasi Melayu yang datang berikutnya ialah rombongan besar Datuk Maharajalela tiba di Kerajaan Gowa (Makassar), tahun 1635, disertai kemenakannya suami-istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istri yang bergelar Putri Senopati.
Raja Gowa Sultan Alaudin memberi tempat tinggal di Salajo di sebelah selatan Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa. Salajo kemudian berganti nama menjadi Kampung Patani hingga sekarang.[9] Selain itu, bersamanya terbawa sebuah Regalia Patani berbentuk Bendera Cindai yang bernama ‘Buluh Perindu”. Datuk Maharajalela kemudian diangkat oleh orang-orang Melayu atas pertujuan dan izin Raja Gowa menjadi ketua bagi segenap orang Melayu. Tidak hanya di Kerajaan Gowa, tetapi di Indonesia Timur dengan sebutan Datuk Ponggawa.[10] "Buluh Perindu" (Bendera Cindai) yang sakral itu menjadi simbol ikatan masyarakat Melayu di Indonesia timur. Hingga kini ‘Bulu Perindu” masih tersimpan di Kampung Melayu di Makassar, di tangan salah seorang keluarga masyarakat Melayu di Makassar.
Seiring dengan tumbuhnya perkampungan Melayu di Mangallekana dan Patani, berbagai jenis pekerjaan baru berkembang di Indonesia timur, khususnya di Makassar. Pekerjaan-pekerjaan ini membuktikan tenaga-tenaga terdidik dan terampil, terutama untuk kegiatan perdagangan, dan lalu lintas ekonomi di Makassar.
Hal ini sangat penting mengingat jabatan-jabatan tradisional dalam birokrasi Kerajaan Gowa tidak dapat menampung orang Melayu terdidik dan terampil dalam berbagai jabatan. Demikianlah, lowongan lowongan kerja dari berbagai kantor-kantor dagang dan perusahaan-perusahaan dagang asing Makassar menjadi sasaran utama orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa. Hampir semua kantor dagang asing yang berada di Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa (Makassar), seperti kantor dagang Inggris, Belanda, Spanyol, Denmark, Portugis, [11] menggunakan tenaga-tenaga kerja Jawa dan Melayu sebagai pegawai atau tenaga kerja terampil. Merekalah yang menjadi motor penggerak dunia perdagangan di Indonesia Timur, terutama di era kejayaan pertengahan abad ke 17 hingga zaman keruntuhan Kerajaan Gowa.
Ketika terjadi ketegangan antara Kerajaan Gowa (Makassar) dengan VOC (Belanda) dalam memperebutkan dominasi ekonomi di Indonesia timur yang sudah tampak gejalanya di awal abad ke 17, orang-orang Melayu dan Jawa yang bekerja pada kantor-kantor dagang asing, khususnya Belanda, mendapat pukulan yang berat. Kerajaan Gowa (Makassar) menjadi sangat curiga pada orang-orang Melayu yang berkarya untuk kegiatan perdagangan Belanda di Makassar.[12] Kecurigaan ini mencapai puncaknya ketika Kerajaan Gowa kalah dalam perang melawan Belanda pada Perang Makassar (1667- 1669). Akibatnya Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Karungrung, memindahkan (mengusir) mereka ke luar dari Makassar/daratan Sulawesi dan menempatkannya di pulau-pulau lepas pantai Makassar yang secara khusus pada pulau-pulau yang berawalan depan Sa: Salembo, Sabaru, Sabutung, Satangga, Satando, Sabalanga. Pulau-pulau ini kemudian tumbuh menjadi permukiman Melayu dan menjadi pusat pendidikan agama Islam dan di abad ke-19. Mereka yang masih tinggal di Makassar (di daratan Sulawesi) hanya orang-orang Melayu-Makassar petinggi-petinggi kerajaan seperti syahbandar, kadhi, pejabat-pejabat agama, juru tulis dan keluarganya serta anggota masyarakat dengan VOC.
Perang Makassar yang berakhir tahun 1667 memaksa Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI, menandatangani Perjanjian Bongaya. Dalam perjanjian itu ada dua bahasa resmi yang digunakan oleh para pembesar Kerajaan Gowa (Makassar) dalam perundingannya dengan Belanda, yaitu bahasa Portugis dan Melayu. Perjanjian yang sangat monumental itu tidak hanya terkenal karena menjadi titik berakhirnya dari satu perang yang sangat dahsyat sepanjang sejarah VOC di Indonesia, tetapi karena perjanjian ini menjadi awal dari satu periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika masyarakat Melayu di Nusantara.
Arus Balik Sejarah
Akibat dari perjanjian ini terjadilah aru balik pengaruh Melayu di Nusantara. Pada saat itulah orang-orang Melayu-Bugis/Makassar yang menduduki jabatan-jataban penting di Kerajaan Gowa bersama para bangsawan tinggi kerajaan yang tidak menyetujui Perjanjian Bongaya meninggalkan Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, secara besar-besaran. Peristiwa ini saya sebut sangat penting karena arus balik ini terjadi setelah hampir 177 tahun sejak berdirinya permukiman Melayu di Siang kurang lebih 1490 atau sekitar 146 tahun sejak kedatangan orang-orang Melayu dan bermukim di Mangallekana, tahun 1521. Dalam arus balik itu tidak hanya orang-orang Melayu-Bugis-Makassar yang duduk dalam birokrasi kekuasaan yang meninggalkan Gowa (Makassar). Secara umum mereka tidak menyetujui kekuasaan Belanda (VOC) di Makassar (Gowa) turut meninggalkan Sulawesi. Migrasi besar-besaran ini secara umum melibatkan daerah-daerah yang berada di bawah persekutuan Kerajaan Gowa, seperti Wajo, Balanipa, Luwu, dan Bima. Datuk Maharajelala yang telah menjabat jabatan Datuk Punggawa, ketua orang Melayu dalam struktur birokrasi tradisional Kerajaan Gowa selama lebih 30 tahun mengundurkan diri dan berhenti menjadi Datuk Punggawa. Dialah Datuk Punggawa yang pertama dan terakhir. 37 tahun kemudian setelah Belanda (VOC) menguasai sepenuhnya Makassar (Gowa) barulah Belada mengangkat seorang pejabat baru dalam struktur kekuasaan VOC selaku ketua orang-orang Melayu dengan nama Kapitan Melayu, yakni pada tanggal 28 Mei 1706, diawali pengangkata Ince Tjuka Abdul Rasul sebagai Kapitan Melayu pertama hingga ke Kapitan Melayu terakhir pada tahun 1918 dijabat oleh Kapitan Incek Qaimuddin Daeng Parani.
Satu hal yang menarik dalam kajian sejarah sosial Indonesia ialah studi tentang perkawinan campuran antara orang-orang Melayu Bugis-Makassar dan Bajau di Sulawesi Selatan, yang kemudian melahirkan masyarakat baru Nusantara. Masyarakat baru Nusantara yang disebut tubaji dan tudeceng inilah yang memegang berbagai jabatan dan peranan penting dalam masyarakat. Hampir semua jenis okupasi yang menjadi kekuatan dinamika sosial-budaya-politik dan ekonomi sepanjang tiga abad dipegang oleh para tubaji/tudeceng.
Manusia Bugis-Makassar campuran Melayu ini, (tubaji), adalah manusia baru Nusantara di abad ke-17 yang sangat penting peranannya. Dalam diri tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, yang kemudian bercampur dengan heroisme Bugis-Makassar dan kearifan Bajau. Percampuran ini melahirkan orang Melayu baru, dalam arti yang luas. Para tubaji atau tudeceng inilah yang kemudian memegang peranan penting dalam sejarah Nusantara di abad ke-18 sampai ke-19 di Tanah Semenanjung dan Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan daerah-daerah di pantai utara Jawa, termasuk di Sulawesi Selatan sendiri. Peran mereka masih berlangsung hingga memasuki abad ke-20.
Dengan demikian, jika dikenal dalam sejarah Nusantara adanya pengaruh Bugis-Makassar di Nusantara, khususnya di Tanah Semenanjung dan di Kepulauan Riau pada abad ke-18 dan ahad ke-19, sesungguhnva tidaklah dapat disebut sebagai peranan Bugis-Makassar secara harfiah seperti yang yang umum dikenal dalam sejarah Melayu. Sebab, dalam diri para bangsawan dan tubaji di antara para Daeng, para Opu dan para Karaeng itu telah mengalir darah campuran Melayu-Bugis-Makassar. Mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari sebuah dinamika sejarah masyarakat kita.
Masalah tubaji atau tudeceng sangat penting dibicarakan karena seringkali banyak tokoh terkemuka atau petinggi dari Ujung Tanah (baca: Malaysia) atau Riau yang merasa berdarah keturunan Bugis atau Makassar datang mencari silsilah "Datuk", leluhurnya ke Sulawesi, di tanah Bugis-Makassar. Beberapa di antaranya tidak puas, bahkan ada yang kecewa karena tidak dapat menemukan kepastian siapa sebenarnya leluhur atau "Datuk"-nya itu. Kekecewaan itu akan bertambah jika ia berusaha mencari nama "Datuk"-nya dalam urutan silsilah raja-raja Bugis-Makassar seperti juga silsilah para Daeng, Opu dan Karaeng yang ada dalam sejarah Melayu-Bugis. Umumnya kita mendapat kesulitan untuk memastikan kebenaran hubungan garis silsilah dalam geneologi itu secara akurat, sekalipun tempatnya dalam struktur sosial jelas dengan titulatur yang dimiliki bangsawan tubaji/tudeceng dan berasal dari tradisi besar Bugis-Makassar.
Sepanjang kurang lebih 150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para bangsawan Bugis-Makassar dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi menyebut diri sebagai orang Melayu melainkan menyebut diri orang Bugis atau orang Makassar. Identitas yang menandakan bahwa seseorang masih berdarah Melayu hanya terlihat pada titulatur nama diri dan sebutan-sebutan dalam kekerabatan. Penggunaan sebutan Incek di depan nama diri menunjukan bahwa ia masih berdarah Melayu digunakan secara terbatas, sementara penggunaan nama panggilan Pa‘Daengan yang menunjukkan predikat kebangsawanan atau tubaji oleh seorang tubaji/tudeceng lebih popular digunakan.
Contohnya :
Incek Muh. Ali Daeng Rowa.
Incek = titulatu nama diri bagi orang Melayu
Muhammad Ali = nama diri
Daeng Rowa = nama Pa‘Daengan, titulatur Makassar
Sehari-hari disapa dengan Daeng Kowa:
Incek Abdul Kadir Daeng Mamangung Datuk Sabandar
Incek = nama identitas bangsawan Melayu
Abdul Kadir = nama diri
Daeng Mamangung = titular Makassar (tubaji)
Datuk Sabandar = nama jabatan
Lebih popular disapa dengan Daeng Manangung.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari seseorang yang memiliki 4 (empat), 3 (tiga), atau 2 (dua) nama termasuk orang terpandang (tubaji) dan seseorang umumnya tidak dikenal/dipanggil dengan nama dirinya tetapi nama Pa‘Daengang-nya. Karena dalam struktur sosial masyarakat Bugis/Makassar tidak semua orang memiliki nama Pa‘Daengang. Pa‘Daengang hanyalah untuk para bangsawan dan masyarakat golongan tubaji/tudeceng saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam sejarah Melayu tokoh sejarah Melayu-Bugis-Makassar dikenal dengan nama Pa‘Daengang-nya saja.
Dengan menggunakan terminologi Pa‘Daengang sudah cukup untuk menempatkan Sang Daeng dalam struktur masyarakat. Merekalah para tubaji/tudeceng sebagai generasi baru Nusantara dalam arus balik sejarah yang berperan penting menegakkan marwah dan tamaddun Melayu, menjadi penggerak dinamika Kesultanan Melayu di abad ke-18 hingga abad ke-19, dan di berbagai daerah di Indonesia bagian barat, termasuk di Riau. Dalam konteks inilah Mukaddimah Sulalatus Salatin menjadi sangat penting artinya.
"Pada suatu masa... dst bahwa fakir duduk pada suatu Majlis dengan orang besar-besar bersenda gurau. Pada antara itu ada seorang besar, terlebih mulianya dan lebih besar martabatnya daripada yang lain. Maka berkata ia kepada fakir, “Hamba dengar ada hikayat Melayu dibawa oleh orang dari Gowa barang kita perbaiki kiranya dengan istiadatnya, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, dan boleh digantikan oleh segala mereka itu dan adalah beroleh faedah ia daripadanya”.
Daftar Pustaka
Adatrcehtbundels XXXI: Celebes ‘s-Gravenhage: Maritunus Nijhoff, 1929.
Ahmad, Samad, A, Sulalatus Salatun (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1986.
Amin, Enci, Microfilm School of Orientarl & African Studies, SOAS. MS 403224.
Ch. Pelras, “Sulawesi Selatan sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian Bangsa Asing”, dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan. 1983.
J. Noorduyn, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Kristen Indonesia, 1964.
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan. Jakarta: Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1988.
Mengemba, H. D, Kenalilah Sulawesi Selatan, Jakarta: Timur Mas, 1954,1956.
PaEni, Mukhlis, Struktur Birokrasi Kerajaan Gowa Jaman Pemerintahaan Sultan Hasanuddin (1653-1669), Yogyakarta: UGM, 1975.
YIIS, Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta; Sinar Harapan. 1985, Cet. I.
Rogoyah A. Hamid, Hikayat Opu DaEng Manambun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1900.
Microfilm, Proyek Naskah Universitas Hasanuddin Rol 9. No: 12, Ro 10, No: 7, Rol: 62, No: 33, Rol: 77, No: 16, No: 80:, No: 44, 60, Rol: 81, No: 37.
Mukhtasar Tawarikh Al Wusta, A Shart chronicle of the Rionregion, introduction Roger Tol, Jam Just Witkam, Leiden 1993.
Abdul Razak daEng Pa‘tunru, Sejarah Gowa. YKKS, 1993.
L. Andaya, The Kingdom of Johar 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxforg Unversiti Press, 1975.
Edward Poelenggomang, Makassar Abad XIX, KPG, 2002.
Zainal, Abidin, “How for is Makassar from Ujung Pandang”, Makalah hari lahirnya Makassar, 1995.
Microfilm Proyek Naskah Universitas Hasanuddin Rol 9, NO: 12. Rol 10 No 7, Rol 62 No. 33, Rol 77 No. 16, Rol 80 No. 10, Rol 80 No. 44, Rol 80 No. 60, Rol 81 N. 37.
[1] Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Tuhfat al-Nafis, Aturan Setia Bugis dan Melayu, Sejarah Riau Lingga dan Daerah Takluknya. Tawariik al-Wusta, Hikayat Negeri Johor, Hikayat Opu Daeng Menambun, Hikayat Raja-raja Riau, Sejarah Raja-raja Riau, Silsilah Raja Bugis, Hikayat Negeri Riau, and Sejarah Johor. Mukhtasar Tawarikh Al-Wusta A short chronicle of the Riau region.
[2] Ch. Pelras: “Sulawesi Selatan sebelum datangnya Islam berdasarkan kesaksian bangsa Portugis” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: YRS, 1983. Di beberapa sumber Portugis disebutkan bahwa pedagang-pedagang Melayu Islam sudah berada di Siang sejak 1485, 120 tahun sebelum Raja Gowa I Mangarangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin 1593-1639 memeluk Agama Islam.
[3] Lihat juga Leonard Andaya: The Kingdom of Jogor, 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975.
[4] Abdul Razak DaEng Pa‘tunru, Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar, 1995. P 15, lihat juga Mattulada, 1988.
[5] Abdul Razak Daeng Patunru, op cit.
[6] Ince Manambai Ibrahim, "Sejarah Keturunan di Melayu Selatan" tanpa angka tahun, tidak diterbitkan.
[7] Enci; Emin; microfilm School of Orientasi dan African Studies, SOAS, MS 40324. Di zaman Kerajaan Gowa XV Sultan Malikusaid (1639-1663) sekretaris istana dijabat oleh seorang Portugis bernama Francisco Mendes (lihat Zainal Abidin, 1995).
[8] Edward Paelanggomang, Makassar Abdullah XIX, 2002.
[9] Abdurrahman: Kedatangan orang Melayu di Makassar dalam H.D. Magemba, Kenallah Sulawesi Selatan, Jakarta Timur Mas, 1956.
[10] Adatrechtbundels, XXXI : Selebes, 1929. p.110
[11] Adatrechtbundels, XXXI : Selebes, 1929. p. 111
[12] Ibid, P. 112.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Seminar “Pluralitas dan Identitas Melayu” dan Lokakarya “Revitalisasi Seni Tradisi Melayu” di Senggarang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Tanggal 28 Juli – 1 Agustus 2004
Mukhlis PaEni, adalah Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film (NBSF) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Repubulik Indonesia.
EmoticonEmoticon